Dinding Kenikmatan


Dinding kenikmatan merupakan tempat terpuruk. Mondar – mandir pada kenikmatan hidup, berfoya, ria, gembira. Tanpa pernah tahu dan tanpa pernah merasa bagaimana kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dinding kenikmatan membuat kita tak pandai bersyukur.

Dalam lingkup kecil aku ingin menggambarkan diriku sendiri. Keseharianku berada ditempat ini, salah satu dinding kenikmatan. Tempatku tidur dan makan. Yah dinding kenikmatan sungguh tepat disini. Bagaimana jika dinding-dinding ini hancur, tak ada lagi tempat untuk tertidur. Tak ada lagi tempatku makan dengan santainya. Bagaimana jika aku harus mencari-cari tempat tidur dan makan?

Langit!

Hemm..bagaimana mungkin aku bisa tidur di langit. Sesuatu yang sangat mustahil. Kecuali langit atapnya rumah mewah. Kecuali langit trotoar jalan raya. Kusebut saja langit, karena panjangnya jalan ini,  tak mampu aku mengukurnya. Mungkin setara dengan langit. Sampai ke pelosok negri sana. Itu yang terlintas dipikiranku.

Anak kecil dengan sebuah lagu

Anak – anak itu masih berdiri menyanyikan lagu. Pukul 9 malam aku melintasi jalan ini. Disebuah angkot terduduk disisi kiri dan kananku ibu-ibu. Mengenakan baju apik dengan gaya maching, berbedak tebal dan berlipstik merah. Mungkin mereka hendak kondangan, pikirku. Angkot kami berhenti sejenak. Menunggu munculnya lampu hijau.
Anak itu masih kecil, menyanyikan lagu A Thousand Years, sebuah lagu yang sampai saat ini masih terngiang dimana-mana. Sejak pemutaran film yang memuat kisah cinta seorang manusia dengan vampir , setahun lalu. Aku terpaku melihatnya. Sejenak berpikir dengan adikku. Mungkin mereka sebaya. Anak itu masih mengalunkan syair-syair a thousand years dari bibirnya. Ditemani seorang pemuda yang memainkan gitar, mungkin juga sebaya umurnya denganku.

Tentu saja suaranya tidak mirip dengan penyanyi lagu tersebut, atau aktris terkenal lainnya. Ia melantunkan syair-syair berbahasa inggris. Wajahnya penuh harap, siapa tahu ada yang berbaik hati memberikan sedikit recerahan uang saku padanya. Sebentar lagi angkot akan melaju. Ia segera menunjukkan kaleng plastik sebagai tempat uangnya kepada kami. Beberapa orang mengisi kaleng itu. Ku lihat lagi seketika wajahnya berubah. Anak kecil dan pemuda itu senyum-senyum. Mereka senang.

Yah mereka senang jika ada sedikit saja orang yang membagi uang sakunya. Namun aku tak tahu senyum itu akan dibawa kemana. Apakah untuk sesuap nasi ataukah sebatang rokok dan ataukah? Aku tidak tahu keberlanjutan senyum itu. Apakah mereka puas jika uang itu sudah bisa mengganjal perut?
 
Sejenak, aku masih mengingat adikku yag saat ini menempuh pendidikan berbaju putih biru. Sampai kapan senyum si kecil itu akan berlalu?

Senin, 26 mei 2014
pkl. 09.00 wib
@coretan kecil untuk kamar no. 7p

Comments

Popular posts from this blog

Mural, Gubrakan Baru Populerkan Seni

Kepada Mereka

Ketika Aku Termangu