Tarawih ke Mesjid
Maghrib ini aku menyelesaikan
segala urusan pribadi dan bersiap-siap berangkat Tarawih. Hari ini kak Emi
tidak tarawih, katanya lagi sakit disertai batuk. So, aku pergi sendiri. Dengan
membaca bismillah, aku menelusuri jalanan di sepanjang gang perbatasan. Mesjid yang
akan aku tuju berada di paling ujung. Lumayan jauh, tapi bukankah semakin jauh
semakin banyak pahala yang didapat? Seperti bunyi hadist ini: “Barangsiapa yang pergi menuju masjid untuk
shalat berjama’ah, maka satu langkah akan menghapuskan satu kesalahan dan satu
langkah lainnya akan ditulis sebagai satu kebajikan untuknya, baik ketika pergi
maupun pulangnya.” (HR. Ahmad). Begitu saja pikirku agar aku semangat melakukan
perjalanan ini, meski sendiri.
Jalanan ini seperti lorong, dipinggir jalan
berjejer pepohonan. Saat ku dongak kan wajah ke langit, ada rintik hujan yang masih
berjatuhan, bekas hujan tadi sore.. berwarna putih disertai sorotan lampu
kuning jalanan. Ya Allah sejuknya malam ini.
Aku juga melewati rumah-rumah mewah yang panjang,
lebar dan tingginya tidak ada dikampungku, hingga rumah biasa, berpagar, dan kutemukan anak-anak yang bermain petasan seolah menjadi suara yang menemani langkahku.
Kulewati juga jembatan, dan rerumputan yang tumbuh di lahan-lahan kosong cukup luas. Jalanan ini cukup sepi, hanya sesekali pengendara kereta lewat.
Aku sampai di Mesjid. Pertama
kali masuk sedikit heran, kenapa shafnya banyak kosong, tetapi penuh di shaf
bagian belakang. Dengan percaya diri aku langsung mengisi shaf dibagian depan.
Tepatnya dipaling depan.
Setelah duduk aku teringat,
bukankah seharusnya aku dibagian belakang? Yang berada paling depan kan para
orang tua? Yah benar. Shaf mulai diisi dengan orang tua. Aku pun melirik ke
belakang mencari tempat yang bisa untuk aku masuki. Namun gerak-gerikku ini
sudah dimengerti oleh nenek disebelahku. Dia pun bertanya, “mau pindah?”
Spontan ku menjawab “Iya nek”. Namun, aku dicegah oleh beliau dan menyuruhku
untuk tetap disebelahnya. Beliau menuturkan beberapa kata yang menjadi alasan
untukku tetap diam ditempat, namun tidak terlalu jelas apa yang dikatakannya.
Aku pun akhirnya tidak jadi berpindah. Shaf mulai penuh dan sholat akan segera
dimulai.
Setelah sunnah ba’da isya,
begitu terkejutnya aku ketika seorang pria membuka hijab pas banget aku paling
depan. Sungguh malu yang luarbiasa, aku pun tunduk saja tidak berani menatap ke
depan. Begitu banyak pria yang tarawih mulai dari anak-anak hingga bapak-bapak.
Acara ini rutin dilakukan sebelum tarawih untuk mendengarkan ceramah dari
Ustadz yang ditugaskan. Sungguh, aku lupa kalau akan seperti ini. Akhirnya
penyelasan tadi menuju diriku. Kenapa tidak pindah saja tadi? Aku menjadi ingat
akan hadist ini: “Sebaik-baik
shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir.
Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang
pertama.” (HR. Muslim no.440).
Disana aku tak mengenal
siapapun, yah namanya juga berada dikampung orang. Dimesjid ini aku tak
mengenal siapapun. Tapi dimana pun kita, jika di Mesjid adanya, akan merasaakan
persaudaraan diantara sesama. Meski aku baru, namun bersalaman usai sholat tidak pandang siapa. Hal
yang paling disenangi ketika berada di Masjid.
#Berjalan, #Sendiri=SeorangDiri
Comments
Post a Comment